6 puisi karya penyair Indonesia untuk memperingati Hari Pahlawan

1 week ago 9

Jakarta (ANTARA) - Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia.

Peringatan ini tak hanya sekadar mengenang jasa para pahlawan, tetapi juga menjadi momen untuk menghargai keberanian dan pengorbanan mereka.

Tanggal 10 November dipilih sebagai Hari Pahlawan untuk memperingati pertempuran besar di Surabaya pada tahun 1945, di mana para pemuda, tentara, dan milisi Indonesia berjuang mati-matian melawan pasukan Britania Raya dan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Pertempuran ini menjadi simbol perlawanan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, meski harus menghadapi kekuatan militer yang jauh lebih kuat.

Sebagai bentuk penghormatan, banyak puisi yang diciptakan untuk mengenang perjuangan para pahlawan kita. Berikut adalah daftar puisi yang dibuat oleh para penyair-penyair ternama di Indonesia tentang Pahlawan: Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang
Karya: W.S. Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Dongeng Pahlawan
Karya: W.S. Rendra

Pahlawan telah berperang dengan panji-panji
berkuda terbang dan menangkan putri.
Pahlawan kita adalah lembu jantan
melindungi padang dan kaum perempuan.

Pahlawan melangkah dengan baju-baju sutra.
Malam tiba, angin tiba, ia pun tiba pula.
Adikku lanang, senyumlah bila bangun pagi-pagi
karna pahlawan telah berkunjung di tiap hati.

 

Pahlawan Tak Dikenal
Karya: Toto Sudarto
(1953)

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
​​​​​​​
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda.

DIPONEGORO
Karya: Chairil Anwar (Februari 1943)
​​​​​​​
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju.

Serbu.
Serang.
Terjang.

Karawang Bekasi
Karya: Chairil Anwar (1946)
​​​​​​​

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan,
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
​​​​​​​
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Bunga dan Tembok
Karya: Wiji Thukul
​​​​​​​

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun - tirani harus tumbang!

Baca juga: Menbud Fadli Zon resmikan Museum Sastra dan Rumah Puisi Taufiq Ismail

Baca juga: Jambore Sastra Asia Tenggara digelar di Banyuwangi

Baca juga: Spesies tanaman baru berbentuk piala ditemukan di China selatan

Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |