Putusan MK Bolehkan Sekolah Swasta Tertentu Pungut Biaya, Ini Alasannya

16 hours ago 3

MAHKAMAH Konstitusi atau MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Sisdiknas. MK memutuskan agar pemerintah pusat dan daerah menggratiskan sekolah negeri dan swasta untuk jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP).

Gugatan itu diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga pemohon atas nama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Pemohon meminta MK memutuskan agar wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tak dipungut biaya. 

Melalui putusan yang dibacakan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 27 Mei 2025, MK menyatakan frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas telah menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

Mahkamah mengubah norma frasa tersebut menjadi, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.”

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan negara memiliki kewajiban konstitusional membiayai pendidikan dasar secara penuh sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Menurut Mahkamah, selama ini pembiayaan wajib belajar hanya difokuskan pada sekolah negeri. Padahal secara faktual banyak anak mengikuti pendidikan dasar di sekolah swasta.

Putusan MK Tak Melarang Sekolah Swasta Memungut Biaya

Namun, putusan MK dalam uji materi Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut tidak melarang sekolah atau madrasah swasta tertentu memungut biaya dari peserta didik.

Sekolah swasta tertentu yang dimaksud MK di antaranya sekolah swasta yang menawarkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional dan sekolah swasta yang selama ini tidak menerima bantuan anggaran dari pemerintah.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 itu mengatakan Mahkamah memahami tidak seluruh sekolah swasta dapat disamakan dalam hal pembiayaan yang melatarbelakangi adanya pungutan biaya kepada peserta didik.

MK dalam hal ini menyoroti sejumlah sekolah swasta yang menerapkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional, seperti kurikulum internasional atau keagamaan, yang merupakan kekhasan dan dijadikan sebagai nilai jual atau keunggulan sekolah tersebut.

Menurut Mahkamah, sekolah swasta yang seperti itu mempengaruhi tujuan peserta didik mengenyam pendidikan dasar di sekolah tersebut. Mereka yang memilih bersekolah di sekolah swasta dengan kurikulum tersendiri tidak sepenuhnya didasarkan atas ketiadaan akses terhadap sekolah negeri, melainkan lebih kepada alasan preferensi.

“Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah tertentu,” kata Enny, seperti dikutip dari Antara.

Karena itu, dalam rangka menekan pembiayaan yang dapat membebani peserta didik, MK menegaskan negara harus mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan dasar, termasuk sekolah swasta, dengan mempertimbangkan faktor kebutuhan dari sekolah swasta tersebut.

MK pun menekankan bantuan pendidikan untuk kepentingan peserta didik di sekolah swasta tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan.

“Hal ini untuk menjamin bahwa sekolah/madrasah swasta yang memperoleh bantuan pendidikan tersebut dikelola sesuai dengan standar yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta memiliki mekanisme tata kelola dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan,” tutur Enny.

Di sisi lain, berkenaan dengan kebutuhan bantuan pemerintah, Mahkamah mendapati bahwa terdapat pula sekolah swasta yang tidak pernah atau tidak bersedia menerima bantuan anggaran dari pemerintah.

Sekolah tersebut, kata Mahkamah, menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan berbasis pembayaran dari peserta didik sepenuhnya. Terhadap sekolah swasta demikian, menurut MK, menjadi tidak tepat dan rasional jika dipaksakan tidak boleh lagi memungut biaya kepada peserta didik.

Terlebih, di sisi lain, kemampuan fiskal pemerintah untuk memberikan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dasar bagi sekolah swasta yang berasal dari APBN dan APBD diakui masih terbatas.

Karena itu, meski tidak melarang sekolah swasta membiayai dirinya sendiri, MK meminta sekolah swasta tetap memberikan kesempatan kepada peserta didik di lingkungannya dengan memberikan skema kemudahan pembiayaan tertentu.

“Terutama bagi daerah yang tidak terdapat sekolah/madrasah yang menerima pembiayaan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah,” ucap Enny.

Eka Yudha Saputra dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Polemik Usulan ASN Pensiun Umur 70 Tahun

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |