Kemenangan Lee Jae Myung dari Partai Demokratik Korea (DPK) yang liberal dalam pemilihan presiden Selasa, 3 Juni 2025 mengakhiri apa yang telah menjadi salah satu kenaikan politik yang paling menarik di negara ini.
Perjalanan Lee menjadi presiden Korea Selatan yang penuh rintangan mencerminkan kebangkitan negaranya yang luar biasa dari kemiskinan yang menggila menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Berikut profil Lee Jae Myung yang dirangkum dari Al Jazeera dan The Korea Times:
Lahir dari Keluarga Sangat Miskin
Lee lahir pada 1963 di sebuah desa terpencil di Andong, Provinsi Gyeongsang Utara sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara. Saat kelahirannya, Korea Selatan sangat miskin. Bahkan, negara ini berada dalam level produk domestik bruto (PDB) per kapita setara dengan negara-negara Afrika sub-Sahara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang tuanya seperti kebanyakan orang tua lain yang menyadari angka kematian bayi pada masa itu tinggi membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mendaftarkan kelahirannya. Itu sebabnya tahun kelahiran Lee tercatat resmi pada 1964.
Lee tumbuh di keluarga, yang bahkan menurut standar pada masa itu, sangat miskin. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia memutuskan untuk pindah ke Seongnam, Provinsi Gyeonggi. Di sana ia bekerja sebagai buruh remaja dengan gaji hanya 200 won (sekitar Rp2.371) per hari di pabrik jam untuk menghidupi keluarganya.
Di usia 15 tahun, kecelakaan di tempat kerja membuatnya mengalami cacat permanen pada lengan kirinya. Namun, Lee menolak untuk membiarkan kesulitan menentukan masa depannya. Dalam pidatonya tahun 2022, ia mengatakan, "Kemiskinan bukanlah dosa, tetapi saya selalu peka terhadap ketidakadilan yang saya alami karena kemiskinan."
Meskipun melewatkan pendidikan formal selama bertahun-tahun, Lee lulus dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dengan belajar untuk ujian di luar jam kerja. Ia juga berhasil mendapatkan beasiswa ke fakultas hukum Universitas Chung-Ang pada 1982. Selama masa kuliahnya, Pemberontakan Gwangju 1980 mengilhami dia untuk mendedikasikan kariernya pada keadilan sosial dan advokasi bagi mereka yang kurang mampu.
Karier Hukum dan Politik
Setelah lulus, Lee memulai karirnya sebagai pengacara hak asasi manusia di Seongnam, di mana ia dengan cepat mendapatkan reputasi dalam menentang korupsi lokal dan memperjuangkan kepentingan publik, termasuk pendirian rumah sakit umum. Aktivisme dan komitmennya terhadap pelayanan publik membawanya ke dunia politik, termotivasi oleh keyakinan bahwa perubahan yang berarti membutuhkan kekuatan politik.
Selama karier hukumnya, Lee dikenal karena memperjuangkan hak-hak orang yang kurang beruntung, termasuk korban kecelakaan industri dan penduduk yang menghadapi penggusuran karena proyek pembangunan kembali kota.
Pada 2006, Lee terjun ke dunia politik untuk pertama kalinya dengan gagal dalam pencalonan sebagai wali kota Seongnam, yang kemudian diikuti dua tahun kemudian dengan kegagalannya dalam pencalonan sebagai anggota parlemen di kota tersebut.
Latar belakang kemiskinannya menjadi alasan ia terjun ke dunia politik. "Alasan saya terjun ke dunia politik sekarang adalah untuk membantu mereka yang masih menderita dalam jurang kemiskinan dan keputusasaan yang berhasil saya hindari, dengan membangun masyarakat yang adil dan dunia yang penuh harapan," katanya.
Pada 2010, Lee terpilih sebagai wali kota Seongnam. Inisiatif kesejahteraannya yang berani – termasuk seragam sekolah gratis, dividen pemuda, pembayaran tahunan sebesar 1 juta won untuk anak muda berusia 19 hingga 24 tahun, dan perawatan pascapersalinan publik –mendapat perhatian nasional. Gayanya yang lugas dan terkadang agresif menjadikannya sosok yang memecah belah, sekaligus populer di kalangan warga.
Reputasi Lee sebagai pembaharu semakin kuat selama krisis politik 2016-17, ketika ia menjadi salah satu orang pertama yang menyerukan pemakzulan Presiden Park Geun-hye, yang dimakzulkan karena skandal korupsi. Pada 2018, ia terpilih sebagai Gubernur Provinsi Gyeonggi, wilayah terpadat di Korea. Di sana, ia memperkenalkan pembayaran bantuan COVID-19 universal pertama di negara itu dan menerapkan kebijakan agresif pada konstruksi ilegal dan memperluas kesejahteraan sosial.
Kontestasi Pemilihan Presiden
Setelah mengundurkan diri sebagai gubernur, Lee memasuki panggung nasional sebagai kandidat Partai Demokrat dalam pemilihan presiden 2022. Ia kalah dari Yoon Suk-yeol dengan selisih suara 0,73 persen suara – selisih terkecil dalam sejarah Korea Selatan.
Lee berhasil memimpin Partai Demokrat meraih salah satu hasil terbaiknya dalam pemilihan parlemen tahun lalu, memberikannya 173 kursi di Majelis Nasional yang memiliki 300 kursi.
Setelah pemakzulan dan pemecatan Yoon dari jabatan presiden setelah deklarasi darurat militer yang berlangsung singkat pada bulan Desember, Lee mendapatkan nominasi dari partainya tanpa tentangan yang serius, dengan mengumpulkan hampir 90 persen suara primer.
Dalam jajak pendapat minggu-minggu menjelang pemungutan suara, Lee selalu unggul jauh dari pesaing terdekatnya, Kim Moon-soo, dari Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif sehingga kemenangannya dalam pilpres tak diragukan lagi.
Tantangan sebagai Presiden
Sebagai presiden, Lee menegaskan komitmennya untuk menempatkan ekonomi sebagai prioritas utama. Ia merancang sejumlah program, termasuk peningkatan signifikan dalam investasi pada bidang kecerdasan buatan, penerapan sistem kerja empat setengah hari dalam seminggu, serta pemberian insentif pajak bagi para orang tua berdasarkan jumlah anak yang mereka miliki.
Dalam kebijakan luar negeri, Lee berkomitmen untuk memperbaiki hubungan dengan Korea Utara, sambil tetap menekankan pentingnya denuklirisasi sebagai inti dari pendekatan tradisional Partai Demokrat yang ia pimpin. Selain itu, ia berupaya menjaga kemitraan keamanan dengan Amerika Serikat tanpa menimbulkan ketegangan dengan Cina maupun Rusia.
Meski Lee akan memulai masa jabatannya dengan dukungan mayoritas di Majelis Nasional, ia menghadapi tantangan besar memimpin negara yang tengah mengalami polarisasi tajam dan perpecahan, menyusul pemakzulan Yoon.
Bagi Lee sendiri, terpilihnya ia sebagai presiden setelah dua kali gagal dalam pencalonan sebelumnya merupakan sebuah pencapaian luar biasa, sejalan dengan kisah hidupnya yang penuh perjuangan dan berlawanan arus, yang telah membentuk perjalanan karier politiknya hingga mencapai puncak kepemimpinan.
Kontroversi Lee Jae Myung
Karier politik Lee tidak lepas dari kontroversi. Pada 2024 di Busan, Lee nyaris menjadi korban penikaman yang hampir merenggut nyawanya.
Saat ini, Lee sedang menjalani lima proses hukum, yang meliputi tuduhan pelanggaran hukum pemilu dan pelanggaran kepercayaan terkait skandal korupsi tanah. Setelah terpilih sebagai presiden, Lee diperkirakan akan terbebas dari persidangan selama masa jabatannya yang berlangsung lima tahun.
Menurut konstitusi Korea Selatan, presiden yang sedang menjabat memiliki kekebalan dari penuntutan, kecuali dalam kasus pemberontakan atau pengkhianatan. Namun, terdapat perdebatan di kalangan ahli hukum mengenai apakah kekebalan ini juga berlaku untuk proses hukum yang sudah berjalan sebelum masa jabatan dimulai.
Untuk mengatasi ketidakjelasan ini, Partai Demokrat pada bulan lalu mengesahkan amandemen hukum pidana yang menyatakan bahwa proses hukum terhadap seseorang yang terpilih sebagai presiden harus ditunda hingga masa jabatannya berakhir.
Meski menghadapi berbagai rintangan tersebut, Lee Jae Myung tetap memperoleh dukungan publik yang kuat, terutama dari kalangan pemilih muda dan kelas pekerja yang merasa terwakili oleh latar belakang serta agenda reformisnya. Kebangkitannya menjadi cerminan harapan dan ketahanan bagi masyarakat Korea biasa.