TEMPO.CO, Yogyakarta - Peserta dari berbagai daerah mengikuti kompetisi meracik teh bertajuk IsTeamewa- Indonesia Tea Mixology yang digelar dalam event Jogja Food Expo di Yogyakarta 21-24 Mei 2025. Ajang yang digelar Dewan Teh Indonesia dan dipusatkan di Jogja Expo Center (JEC) itu diikuti peserta seperti dari Madiun, Magelang, Solo, Boyolali, Semarang, juga daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam acara itu, para peserta ditantang membuat inovasi racikan teh dengan bahan lain yang masuk kategori food grade atau aman dicerna tubuh, untuk menghasilkan terobosan rasa baru tanpa meninggalkan ciri khas teh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cakra Virajati, Kepala Juri Kompetisi Teh IsTeamewa, mengatakan bahwa mixology ini menantang peserta meracik campuran baru teh. "Cita rasanya berbeda dari yang biasa kita minum sehari-hari dan meningkatkan nilai jualnya," kata dia, Sabtu, 24 Mei 2025.
Setidaknya ada tiga indikator penilaian dalam kompetisi itu, yakni teknik, inovasi, dan personal dari tiap peserta. Bahan campuran yang digunakan mulai dari buah, sayur, dan juga rempah.
Teknik Menyeduh Teh
Dari aspek teknik, peserta dinilai bagaimana cara mereka menggunakan skil seperti cara penyeduhannya. Menyeduh teh yang asal-asalan, kata Cakra, bisa membuat cita rasa teh rusak alias tidak enak atau hilang otentisitasnya.
Misalnya, untuk teh hijau, aturannya tidak boleh diseduh dengan suhu mencapai 100 derajat Celsius, melainkan hanya dikisaran 80-90 derajad celcius.
"Kalau green tea (teh hijau) ini diseduh sampai 100 derajat Celsius, rasa bitter atau pahit yang akan dominan. Beda sama black tea (teh hitam) yang memang harus diseduh sampai 100 derajat Celsius karena karakternya full oksidasi," kata Cakra.
Dalam aspek teknik, peserta juga musti jeli soal waktu penyeduhannya. Sebab setiap teh memiliki batasan waktu maksimal agar cita rasanya terjaga sesuai karakternya. Ada yang maksimal hanya tiga menit, ada juga yang 5 menit atau lebih.
Peserta dalam ajang itu pun dinilai cara mereka memanfaatkan peralatan yang dimiliki seperti shaker (alat kocok), sendok, bahkan gelas yang digunakan.
Adapun indikator kedua soal inovasi, peserta dinilai soal ekplorasinya dalam meracik rasa baru teh.
Tema Cerita Rakyat Indonesia
Kompetisi itu mengusung tema Cerita Rakyat Indonesia, di mana sajian yang dibuat peserta harus mengandung unsur lokalitas. Salah satunya, ada peserta yang membuat teh terinspirasi dari tradisi Mitoni dalam adat Jawa. Mitoni merupakan tradisi untuk merayakan kehamilan ibu yang memasuki usia tujuh bulan.
Salah satu kudapan dalam adat Mitoni ini adalah rujak, yang dipercaya sebagai simbol mendatangkan rejeki, memberikan keberuntungan, dan melambangkan harapan agar bayi lahir dengan mudah dan sehat. Ada peserta yang membuat racikan teh rasa rujak itu. Alhasil, dengan bahan utama teh hijau, diracik dengan campuran cabai, buah-buahan, dan sedikit sirup markisa minuman teh ini punya segar dengan sedikit sensasi pedas.
Adapun penilaian dari aspek personal, kata Cakra, bagaimana peserta melayani pelanggan ibarat di sebuah kedai atau bar.
Edukasi Teh
Adapun Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia Harry Hendrarto menuturkan, ajang ini menjadi edukasi bagi publik bahwa sebenarnya Indonesia memiliki beragam jenis teh yang berkualitas premium dengan harga terjangkau.
Harry mengungkap, teh yang diketahui dan dirasakan masyarakat selama ini kebanyakan masih dari olahan bagian pucuk tanaman teh yang masuk kategori kelas 3 atau common. Bukan yang medium (kelas 2) dan high (kelas 1).
"Pucuk teh kelas 1 itu diambil dari P atau Peko (pucuk teh yang belum mekar atau kuncup) plus 1 dan P plus 2, itu yang paling premium ketika mengolahnya benar," kata dia.
Sedangkan yang kebanyakan yang dinikmati masyarakat adalah pucuk teh P plus 4 bahkan tangkainya. "Semakin menurun tingkatannya, daunnya teh mulai tua sehingga rasa originalnya makin berkurang," ujar Harry.
