TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat sipil di Sumatra Barat menggelar refleksi 27 tahun reformasi lewat panggung rakyat di Tugu Gempa Kota Padang pada Sabtu malam, 24 Mei 2025. Kegiatan refleksi 27 tahun reformasi dihadiri oleh sejumlah pegiat seni, mahasiswa, hingga aktivis hak asasi manusia (HAM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peringatan runtuhnya Orde Baru itu dimulai sekitar pukul 20.00 WIB dengan pembacaan puisi yang berjudul Mei oleh Alfi Syukri. Lalu disambung permainan akustik dari mahasiswa dan pegiat seni.
Kemudian ada monolog yang berjudul Marsinah karya Ratna Sarumpaet. Monolog berdurasi sekitar 10 menit itu bercerita tentang semangat Marsinah yang tidak pernah padam hingga saat ini. Monolog itu dipentaskan oleh Syifa. Selain penampilan seni, panggung rakyat juga menyediakan lapak baca dan pasar gratis.
Sejumlah mahasiswa Papua juga terlihat hadir dalam refleksi tersebut. Mereka ikut menyampaikan refleksi 27 tahun reformasi dan nasib Papua hari ini. "Sistem demokrasi hari ini lebih rusak dan tidak seperti apa yang diinginkan oleh rakyat, " kata Genius salah satu mahasiswa Papua saat berorasi.
Genius mengatakan masih banyak terjadi penindasan, penembakan, dan eksploitasi sumber daya di Tanah Papua. "Rakyat Papua sampai hari ini masih menderita. Rasisme yang kami rasakan, pengiriman militer secara besar-besaran, " lanjutnya.
Setelah penampilan seni dan orasi, panggung rakyat ditutup dengan pembacaan Refleksi 27 tahun Reformasi oleh Danan, Gubernur Badan Eksekutif Masyarakat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta. Para peserta kemudian menyalakan lilin dan membuat lingkaran saat pembacaan refleksi.
Selain pelanggaran HAM masa lalu, Danan dalam refleksinya juga menyinggung tentang penangkapan 15 orang mahasiswa Universitas Trisakti dan kasus pelanggaran HAM di Papua. "Mari kita refleksikan 27 tahun reformasi. Kondisi saat ini tentu tidak sesuai dengan amanat Reformasi 1998," ucapnya.
Alfi Syukri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengatakan banyak pelanggaran HAM di Sumatra Barat yang tidak jelas penegakan hukumnya. Mulai dari kriminalisasi petani hingga penangkapan mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa.
"LBH Padang mencatat ada beberapa kasus kriminalisasi terhadap petani. Salah satunya di Kapa, Kabupaten Pasaman, " ucapnya.
Kemudian kebebasan pers yang kian memprihatinkan dari hari ke hari. Sebab dari data Indeks Kebebasan Pers yang disusun oleh Dewan Pers, Sumatra Barat berada di posisi 34 dari 38 provinsi. "Ada 12 kasus yang berhubungan dengan pers yang terjadi antara 2023 hingga 2024 di Sumatra Barat, " katanya.
Kebebasan akademik juga demikian, beberapa mahasiswa dipanggil oleh pihak kampus karena mengkritik kebijakan. Ada juga ancaman pembubaran organisasi yang dialami saat menyampaikan orasi.
Selain itu, Alfi juga menyampaikan tentang kasus korupsi yang tidak kunjung diselesaikan. Padahal itu masuk dalam amanat Reformasi. "Masih banyak lagi kasus yang tidak kunjung jelas penyelesaiannya, apalagi berhubungan dengan pejabat dan polisi, " ujarnya.