Paskah di Palestina, Ibadah Tanpa Perayaan

7 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Paskah yang seharusnya penuh sukacita kembali diliputi kesedihan bagi umat Kristiani Palestina, baik di Gaza, Tepi Barat, maupun Yerusalem. Ini adalah tahun kedua mereka merayakan hari suci tersebut dalam bayang-bayang perang dan penderitaan yang mendalam.

Di Jalur Gaza, Paskah diperingati secara sederhana di Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius di Kota Gaza. Tidak ada perayaan besar, tidak ada kunjungan keluarga. Hanya doa dalam keheningan, di tengah kehancuran yang semakin meluas.

Selama hampir 50 hari, tentara Israel menutup total akses bantuan makanan dan medis ke wilayah tersebut. Pada hari Minggu Paskah saja, puluhan warga dilaporkan tewas akibat serangan udara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saint Porphyrius sendiri pernah dibom pada Oktober 2023, hanya beberapa hari setelah perang dimulai. Ketika itu, sedikitnya 18 warga sipil yang berlindung di kompleks gereja tewas. Sejak perang dimulai, lebih dari 51.000 warga Palestina telah kehilangan nyawa.

Di Vatikan, Paus Fransiskus kembali menyerukan gencatan senjata di Gaza dan meminta pembebasan sandera oleh Hamas. Namun harapan damai itu seolah jauh dari kenyataan di lapangan.

Tembok pembatas iman

Di Tepi Barat, suasana tak kalah suram. Ribuan umat Kristen Palestina ditolak masuk ke tempat-tempat suci, termasuk Gereja Makam Kudus di Yerusalem Timur. Polisi Israel bentrok dengan jemaah dan bahkan seorang pendeta ketika mereka berusaha melewati pos pemeriksaan yang menjamur di kota tua Yerusalem.

"Beberapa orang bilang jumlah tentara dan polisi di sekitar Makam Kudus bahkan lebih banyak dari jumlah jemaat," ujar Fathi Nimer, peneliti kebijakan di Al-Shabaka, dari Ramallah melansir Al Jazeera.

Hanya sekitar 6.000 warga Palestina dari Tepi Barat yang diberikan izin untuk mengikuti misa Paskah tahun ini. Bahkan wakil Vatikan di Palestina pun ditolak masuk. Nimer menilai ini sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menghapus identitas dan budaya Palestina, termasuk yang beragama Kristen.

Mitri Raheb, seorang pendeta dan teolog Palestina sekaligus pendiri Universitas Dar al-Kalima di Betlehem, juga merasakan tekanan itu.

"Saya sendiri sebagai pendeta tidak mendapatkan izin untuk menghadiri Pekan Suci, padahal ini adalah pekan paling penting dalam tradisi Kristen," katanya. "Bayangkan, komunitas Kristen Palestina yang sudah tinggal di sini selama 2.000 tahun, tak bisa merayakan Paskah di tempat peristiwa itu sendiri terjadi."

Raheb juga menyoroti peningkatan serangan terhadap pendeta dan gereja oleh pemukim Israel.

"Salah satu kisah pertama tentang Yesus di gereja adalah bahwa Dia seperti domba yang dibawa ke penyembelihan. Tapi hari ini, bagi umat Kristen Palestina, rasanya seperti seluruh bangsa kami yang sedang dibawa ke penyembelihan," ujarnya lirih.

Sementara itu, kompleks Masjid Al-Aqsa pun semakin sering dimasuki pemukim dan politisi Israel yang berusaha mengubah status quo dengan melakukan ritual Talmud di area yang seharusnya hanya digunakan untuk ibadah umat Muslim.

Paus Tawadros II, pemimpin Gereja Ortodoks Koptik Mesir, turut mengecam keras kekerasan di Gaza.

"Warga Palestina mengalami ketidakadilan yang paling kejam dalam kehidupan mereka sehari-hari, di tengah kehancuran tanah air mereka," katanya dalam siaran Paskah di televisi nasional Mesir.

(tis/tis)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |