Parlemen ASEAN untuk HAM Desak Tindakan Tegas Atasi Krisis Myanmar

3 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) dalam rilis pada Senin 5 Mei 2025 menyatakan baru saja menyelesaikan Misi Pencarian Fakta (FFM) di Mae Sot, Thailand yang juga berbatasan dengan Myanmar. Misi ini dilaksanakan dari 28 April hingga 1 Mei 2025.

APHR menyebut misi ini mengungkapkan krisis kemanusiaan dan politik yang semakin memburuk di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar, diperparah oleh agresi militer yang berkelanjutan, pengurangan bantuan kemanusiaan, dan kelambanan diplomatik regional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat tahun setelah kudeta militer, junta Myanmar terus melakukan kekejaman secara luas dengan impunitas, termasuk serangan udara terhadap warga sipil, wajib militer paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual.

Mae Sot, yang secara historis menjadi tempat perlindungan bagi komunitas Myanmar yang terlantar, kini menampung masyarakat sipil yang kewalahan, sekolah informal, dan tempat penampungan darurat, yang berjuang untuk memberikan perlindungan tanpa pengakuan hukum atau dukungan formal.

Penangguhan visa lintas batas oleh pemerintah Thailand di Jembatan Persahabatan No. 1 telah memutus jalur penting bagi warga Myanmar dan mereka yang melarikan diri dari kekerasan. Hal ini meningkatkan kerentanan pengungsi terhadap eksploitasi dan pelecehan.

Krisis ini semakin diperparah oleh penarikan donor kemanusiaan besar, terutama bantuan kemanusiaan Amerika Serikat, dan gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 Magnitudo pada 28 Maret 2025.

Gempa tersebut menyebabkan lebih dari 3.800 kematian dan lebih dari 5.100 cedera, serta menyebabkan jutaan orang yang membutuhkan bantuan mendesak.

Meskipun junta militer menyatakan gencatan senjata untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan, mereka terus melakukan operasi agresif—termasuk serangan udara dan penembakan artileri.

Ini bahkan terjadi setelah gencatan senjata seharusnya mulai berlaku pada 2 April. Bencana alam ini tragisnya diperparah oleh kehancuran buatan manusia, karena serangan udara menghantam beberapa daerah yang terkena gempa.

Menurut Proyek Data Lokasi & Peristiwa Konflik Bersenjata (ACLED), setidaknya 172 serangan terjadi selama periode gencatan senjata, 73 di antaranya di zona yang terkena gempa.

"Anda tidak dapat menyalurkan bantuan melalui mereka yang mengebom rumah sakit dan menangkap tenaga medis," kata Charles Santiago, Ketua Bersama APHR dan mantan Anggota Parlemen dari Malaysia.

"Senjata junta terhadap akses kesehatan dan kemanusiaan harus dihentikan. ASEAN harus bertindak dengan kejelasan moral—bukan kehati-hatian diplomatik."

Sama mengkhawatirkannya adalah represi yang meningkat dalam sistem penjara Myanmar.

Per Maret 2025, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) melaporkan lebih dari 22.100 individu yang didakwa oleh junta sejak kudeta 2021, dengan lebih dari 10.700 orang dijatuhi hukuman.

Meskipun rezim menyatakan amnesti massal pada April 2025 yang membebaskan hampir 4.900 tahanan, hanya 380 yang merupakan tahanan politik.

Antara September dan Desember 2024 saja, setidaknya 87 individu meninggal dalam tahanan, banyak di antaranya karena penyiksaan, penolakan perawatan medis, dan perlakuan tidak manusiawi.

Penahanan berkelanjutan terhadap pejabat terpilih, jurnalis, pembela hak asasi manusia, dan aktivis mahasiswa menggambarkan kampanye kejam rezim untuk membungkam perbedaan pendapat.

APHR menyerukan kepada ASEAN dan negara-negara anggotanya untuk bangkit menghadapi tantangan dengan urgensi dan tekad, beberapa di antaranya: 

1. Thailand harus memperluas perlindungan hukum kepada pengungsi Myanmar, termasuk akses ke pekerjaan, perawatan kesehatan, pendidikan, perlindungan dan bantuan kemanusiaan, menjaga perbatasan tetap terbuka dan menyediakan jalur yang aman bagi orang-orang yang melarikan diri.

2. ASEAN harus segera memulai arsitektur dan dana kemanusiaan yang komprehensif dengan membentuk mekanisme bantuan lintas batas regional, dengan pencairan dan pengawasan yang transparan, tanpa melalui junta.

3. ASEAN juga harus memberikan tekanan berkelanjutan pada militer Myanmar dan semua aktor bersenjata untuk menghentikan serangan terhadap warga sipil dan penggunaan senjata peledak secara sembarangan di daerah berpenduduk. Kepatuhan pada hukum kemanusiaan internasional dan kewajiban hak asasi manusia—terutama perlindungan warga sipil dan infrastruktur sipil seperti rumah sakit dan sekolah.

4. ASEAN harus berhenti memperlakukan junta Myanmar sebagai pemangku kepentingan yang sah. Sebaliknya terlibat langsung dengan kekuatan demokratis Myanmar, otoritas etnis, dan aktor masyarakat sipil.

Yuyun Wahyuningrum, Direktur Eksekutif APHR, mengatakan, "Ini bukan lagi masalah Thailand saja—ini adalah krisis ASEAN untuk dihadapi. Serangan udara yang berkelanjutan, represi sistemik, dan eksploitasi saluran kemanusiaan mengungkapkan niat sebenarnya dari junta."

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |