TEMPO.CO, Banjarmasin - Tokoh masyarakat adat Dayak Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Harnilis, mengatakan Masyarakat Adat Meratus siap membela dan mempertahankan wilayah adat mereka agar tidak menjadi kawasan konservasi milik negara. Harnilis merespons atas upaya pemerintah pusat dan daerah menjadikan Pegunungan Meratus sebagai Taman Nasional atau kawasan konservasi.
Menurut Harnilis, rencana penetapan wilayah adat Meratus menjadi Taman Nasional dinilai dapat mencederai hak-hak tradisional masyarakat adat. “Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” kata Harnilis melalui keterangan tertulis Forest Watch Indonesia (FWI) yang diterima Tempo, pada Kamis, 17 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menegaskan Masyarakat Adat Pegunungan Meratus yang mendiami wilayah adat yang ada saat ini sudah dapat menjamin kebutuhan hidup secara mandiri, seperti untuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, air minum dan lainnya. Oleh karena itu, kata Harnilis, Masyarakat Adat Meratus menilai bahwa wilayah adat di Pegunungan Meratus merupakan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan jiwa raga mereka.
Harnilis menyebutkan, untuk mengelola sumber daya alam Pegunungan Meratus, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Masyarakat Adat kompak kerja sama antara laki-laki dan perempuan, serta tua dan muda melestarikan aneka budaya yang sudah diwariskan secara turun-temurun.
“Tidak ada yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, semuanya kuat dan penting. Tidak akan berhasil kita berkebun, berladang, mengadakan acara tanpa keduanya," kata Harnilis.
Akademisi IPB University, Rina Mardiana, menyatakan bahwa Masyarakat Adat adalah masyarakat otohton, yaitu masyarakat yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya.
"Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. Mereka bukan dari pecahan dari negara atau pecahan kerajaan (eks-swapraja)," Rina menegaskan.
Atas dasar itu, menurut Rina, RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. "Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik,” kata Rina Mardiana.
Adapun Erwin dari Perkumpulan HuMa menambahkan, berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah hak tradisional memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak-hak tradisional menjadi fleksibel. "Karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional," kata Erwin.
Erwin berpendapat, selain original intent dari frasa hak-hak tradisional, dapat menjadi salah satu rujukan untuk merumuskan hak-hak masyarakat adat dalam RUU Masyarakat Adat.
Selain itu, kata dia, pelbagai norma yang sudah berlaku dan situasi-situsi yang dihadapi oleh masyarakat adat menjadi rujukan lainnya. "UU masyarakat Adat harus memperjelas hak-hak yang melekat di masyarakat adat, memastikan hak tersebut adalah HAM, dan menjadikan Negara bertanggung jawab untuk menghormati,
memenuhi dan melindungi hak-hak tersebut," tegas Erwin.
Aspirasi atas urgensi RUU Masyarakat Adat turut disuarakan oleh Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba. Ia mengaku masyarakat adat sudah menempuh berbagai upaya agar kedudukan Masyarakat Adat mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang utuh. "Tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan," kata Triawan yang disapa Umbu Tri.
Umbu Tri menambahkan, Masyarakat Adat di Sumba Timur menerapkan praktik baik dalam mengelola sumber daya alam agar tetap lestari dan berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya alam dikontrol melalui
sistem kelembagaan adat dan mekanisme pengambilan keputusan, yakni musyawarah adat, sehingga dapat menghindari eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
Dalam catatan FWI, RUU Masyarakat Adat adalah rancangan undang-undang yang bertujuan mengakui, melindungi, dan menjamin hak-hak Masyarakat Adat, termasuk hak atas tanah, sumber daya alam, budaya, dan kelembagaan adat. Diusulkan sejak 2009, RUU ini berulang kali masuk Prolegnas, tetapi tak kunjung disahkan. Pada 2024, kembali masuk Prolegnas 2025. Meskipun penting bagi masyarakat adat, pengesahan RUU Masyarakat Adat masih tertunda karena tarik menarik kepentingan politik dan ekonomi.