TEMPO.CO, Jakarta -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan pentingnya menjauhkan anak-anak dari konflik bersenjata. Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan, konflik yang melibatkan senjata kerap menyeret anak-anak ke dalam situasi yang memburuk dan berisiko tinggi terhadap fisik, psikis, serta tumbuh kembang mereka.
"Anak-anak tidak layak diberikan lingkungan kekerasan. Kebutuhan dasarnya adalah tumbuh kembang yang dominan memiliki psikologis sebagai peniru, bukan pendengar atau pembelajar yang baik," kata Jasra keterangannya pada Senin, 14 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pelanggaran terhadap hak anak dalam situasi konflik bersenjata masih marak terjadi, meskipun berbagai instrumen hukum internasional telah tegas melarang perekrutan anak. Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Hak Anak 1989, serta Protokol Tambahan 2000 menyatakan, anak-anak berusia di bawah 18 tahun harus dijauhkan dari keterlibatan langsung dalam permusuhan.
"Anak-anak yang terlibat konflik ataupun kepentingan politik adalah anak-anak yang mendapat perlakuan salah. Sebab, pemahaman mereka mudah dibelokkan, secara fisik mudah dikuasai, dan secara kejiwaan mudah dibawa dalam pusaran tekanan," ujarnya.
Laporan Tempo pada awal pekan memaparkan dugaan keterlibatan anak dalam konflik di Papua. Dalam laporan tersebut, keterlibatan anak dalam konflik Papua digambarkan dalam film berjudul The Child Soldiers of West Papu yang dirilis pertama kali pada 25 Maret 2025. Film besutan dua warga Australia, Kristo Langker dan Kirsten Felice, itu menampilkan keseharian anak-anak Papua yang tinggal bersama di markas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Juru bicara Markas Pusat TPNPB-OPM Sebby Sambom mengatakan, anak-anak berusia 8-15 tahun yang ditampilkan dalam film tersebut adalah anak-anak pemimpin dan milisi TPNPB. Anak-anak itu, kata dia, telah tinggal di markas OPM sejak lahir.
Mereka telah terbiasa dengan kehidupan milisi TPNPB yang bergerilya melawan aparat keamanan dan Polri. "Naluri berjuang untuk kemerdekaan Papua itu sudah tertanam dalam pikiran mereka," ujar Sebby saat dihubungi pada Jumat, 11 April 2025.
Jasra Putra mengatakan, dalam konflik, anak-anak seringkali tidak mampu membedakan antara tindakan manipulatif dan kenyataan. Situasi ini menempatkan mereka dalam kondisi paling berisiko. "Ini bukan soal konflik, perang, atau aksi massa, atau aksi dukung mendukung, tapi anak-anak belum bisa membedakan perlakuan yang dihadapi."
Konvensi ILO (Internasional Labour Organization) Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan Pekerjaan Terburuk untuk Anak menyebutkan pentingnya perdamaian universal dan penghapusan penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata. Jasra menegaskan pentingnya sosialisasi hukum humaniter internasional dan perlindungan anak agar kekerasan tidak diwariskan secara turun-temurun.
KPAI juga mengingatkan, Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 76H dan Pasal 87 telah mengatur larangan penggunaan anak untuk kepentingan militer. Pasal tersebut juga menetapkan sanksi pidana hingga lima tahun penjara dan/atau denda Rp 100 juta. “Semua pihak berkewajiban menjauhkan anak dari konflik bersenjata, siapapun itu,” tutur Jasra.
Andi Adam Faturahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.