Kenaikan Royalti Minerba Menuai Kritik, Apa Penyebabnya?

2 days ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin mengatakan perubahan tarif royalti mineral dan batu bara dilakukan di waktu yang tidak tepat. Sebab, kata Meidy, saat ini harga nikel global sedang mengalami penurunan akibat ketegangan geopolitik dan perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Meidy berpendapat kenaikan tarif royalti di tengah ketidakpastian ekonomi global akan menambah tekanan terhadap industri nikel nasional. Kenaikan royalti tersebut juga berisiko mengurangi daya saing serta kontribusi sektor ini terhadap perekonomian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami berharap pemerintah masih membuka ruang dialog untuk mengevaluasi ulang kebijakan ini secara menyeluruh, termasuk potensi penundaan implementasi atau penerapan secara bertahap guna memitigasi dampak negatif terhadap keberlangsungan industri,” kata Meidy melalui keterangan tertulis, Rabu, 16 April 2025.

Pemerintah mengubah tarif royalti melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Tarif Royalti Mineral dan Batu Bara (Minerba). Aturan ini ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada 11 April 2025 dan mulai berlaku efektif 15 hari sejak tanggal pengundangan. Untuk nikel, tarif royaltinya naik dalam rentang 4 hingga 9 persen tergantung Harga Mineral Acuan (HMA) per ton.

Menurut Meidy, perubahan tarif royalti tersebut tidak realistis dan progresif. Dia menilai kenaikan royalti bijih nikel dari 10 persen menjadi 14 hingga 19 persen, tidak mempertimbangkan kondisi industri.

“Saat ini biaya operasional melonjak akibat kenaikan harga biosolar B40, kenaikan upah minimum mencapai 6,5 persen, PPN, dan kewajiban DHE ekspor 100 persen selama 12 bulan,” kata Meidy.

Dia mengatakan perubahan royalti juga tidak mempertimbangkan tren harga nikel global yang cenderung turun. Selain itu, kata dia, investasi smelter butuh modal besar dan resiko tinggi dengan biaya pembangunan mencapai US$1,5-2 miliar per smelter.

“Iut belum termasuk biaya reklamasi, PNBP, PPM, dan pajak global (Global Minimum Tax sebesar 15 persen),” katanya.  

Meidy menambahkan, kenaikan tarif royalti akan menekan margin produksi penambang dan smelter secara signifikan. Hal itu juga berpotensi mengurangi penerimaan negara dari royalti produk smelter yang tidak dapat terjual karena harga tidak kompetitif.

Meidy pun khawatir kenaikan royalti berpotensi mengurangi minat investasi di sektor hulu-hilir nikel dan menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global.

“Jika kondisinya seperti itu, maka bisa memicu PHK massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja,” kata Meidy.

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan kenaikan tarif royalti minerba adalah hal yang wajar di tengah kenaikan harga minerba. “Kami ingin win-win. Pengusahanya baik, negara juga untung,” kata Bahlil.

Dia mengatakan kenaikan royalti minerba bertujuan memaksimalkan pemasukan negara di tengah naiknya harga nikel. Kendati demikian, ujar dia, tidak menutup kemungkinan tarif royalti minerba turun menyesuaikan harga pasar. 

“Artinya begitu harga naik, tarifnya juga naik. Perusahaan dapat untung banyak, negara juga harus dapat banyak,” katanya.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |