TEMPO.CO, Banjarbaru - Lahan ekosistem mangrove di Kalimantan seluas lima ratus hektaree yang rusak telah direhabilitasi melalui penanaman bibit mangrove di Kabupaten Kotabaru dan Tanah Laut, pada Senin, 2 Juni 2025.
Penanaman mangrove ini melibatkan PT Freeport Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendali Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan, Universitas Lambung Mangkurat, dan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Rasio Ridho Sani, rehabilitasi mangrove ini meliputi 400 hektare di Kabupaten Tanah Laut dan 100 hektare di Kabupaten Kotabaru. “Kita perlu menata ekosistem mangrove dan juga mengurangi dampak pencemaran sampah plastik terhadap lingkungan,” katanya, di sela seminar nasional Hari Lingkungan Hidup di kampus Universitas Lambung Mangkurat, Kota Banjarbaru, pada Senin, 2 Juni 2025.
Rasio berkata mangrove punya peranan atas perubahan iklim, penahan abrasi, tsunami, pendukung ekosistem perikanan laut, dan pariwisata. Namun, menurut dia, kerusakan ekosistem mangrove makin masif karena alih fungsi lahan, penebangan liar, polusi limbah, polusi plastik, pencemaran air laut, perubahan iklim, serta lemahnya penegakan hukum.
“Indonesia kehilangan tutupan mangrove 195.014 hektare pada 2010-2020 atau 19.501 hektare per tahunnya,” ujar Ridho. Oleh karena itu, pihaknya melakukan upaya mitigasi dan pemulihan ekosistem mangrove lewat remediasi, rehabilitasi, dan restorasi.
Ia pun mendorong masyarakat dan produsen kemasan lebih peduli terhadap pencemaran sampah plastik, seperti menekan penggunaan plastik dan produsen bertanggung jawab atas produksinya.
“Dampak buruk sampah laut adalah merusak ekosistem laut dan pantai, mengancam kesehatan manusia, membahayakan keselamatan pelayaran, merusak estetika pantai, serta menurunkan daya saing destinasi wisata pantai,” katanya.
Adapun dampak ekonomi dari sampah laut, kata dia, meningkatkan biaya pengolahan sampah, meningkatnya biaya operasional pelayaran dan perikanan tangkap, serta menurunkan pendapatan nelayan akibat turunnya tangkapan ikan.
“Mikroplastik ditemukan di seluruh perairan dan sedimentasi, terbanyak di perairan Sulawesi Selatan dan Teluk Jakarta. Mikroplastik ditemukan pada pencemaran 58-89 persen ikan teri,” tutur Ridho, mengutip hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sementara itu, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengatakan pihaknya menargetkan rehabilitasi 2.000 hektaree mangrove di Kalimantan. Target ini bagian dari 10.000 hektaree rehabilitasi mangrove sampai tahun 2041.
“Sebanyak 8 ribu hektare di Mimika dan 2 ribu hektare di Kalimantan. Sekarang sudah terealisasi lebih dari 1.200 hektare. (Di Kalimantan) yang tertanam masih di bawah 100 hektare karena baru dimulai dekat IKN,” katanya.
Khusus di Kalsel, Tony berkata ada 500 hektaree mangrove yang direhabilitasi bareng ULM. Tony komitmen memulihkan ekosistem mangrove karena Indonesia menguasai 23 persen mangrove di dunia. Di Papua, ada 1,5 juta hektaree lahan mangrove dan Kabupaten Mimika seluas 150 ribu hektaree.
Ihwal sampah plastik, Toni Wenas menegaskan Freeport Indonesia telah mengurangi penggunaan 3 juta botol plastik minuman. “Bukan plastik itu jelek, tapi sampah plastik itu jelek. Plastik jangan dijadikan sampah lah, harus dipakai berulang-ulang dan didaur ulang,” kata Tony.
Adapun Rektor ULM, Ahmad Alim Bahri, mengklaim kampusnya komitmen menjaga kelestarian lingkungan. Ia merujuk lahan mangrove milik ULM seluas 600 hektare yang dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan mangrove. Pihaknya pun meriset beberapa proyek penemuan pengolahan sampah plastik. “Semoga bisa memberikan solusi jangka panjang pengelolaan sampah plastik,” kata Ahmad.