Fenomena Ramai Beli Emas Saat Harga Melonjak

3 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani menjelaskan alasan masyarakat justru berbondong-bondong membeli emas di saat harganya melonjak. Menurut Listya, fenomena gold rush ini, di mana masyarakat mengalihkan dananya ke logam mulia, terjadi sebagai bentuk perlindungan nilai (store of value).

“Secara teoritis, kondisi ini memperkuat fungsi emas sebagai safe haven asset, yakni aset yang dicari saat risiko sistemik meningkat,” kata Listya Endang dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Senin, 21 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam beberapa pekan terakhir, dunia dikejutkan oleh lonjakan harga emas. Pada awal April, harganya sekitar 3.350 dolar Amerika Serikat (AS) per ons troy atau per 31,1 gram. Berdasarkan nilai tukar rupiah ke dolar AS di Rp 16,800-an, maka per gramnya harga emas mencapai sekitar Rp 1,8 jutaan.

Menurut Listya, kenaikan harga emas dengan rekor tertinggi sepanjang sejarah ini mencerminkan gejolak global yang semakin intens. Mulai dari ekspektasi penurunan suku bunga The Federal Reserve, memanasnya konflik geopolitik di Timur Tengah dan Eropa Timur, hingga pelemahan dolar Amerika Serikat yang berkepanjangan.

Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Yogyakarta, ini membeberkan fenomena tersebut tidak hanya berdampak secara global saja, tetapi juga menyentuh pasar domestik secara langsung. Di Indonesia, PT Pegadaian mencatat total saldo tabungan emas masyarakat mendekati angka 1 ton, melonjak signifikan dalam kurun waktu setahun terakhir.

“Hal ini menunjukkan terjadinya gold rush versi modern, di mana publik dari berbagai lapisan masyarakat mulai mengalihkan dananya ke logam mulia sebagai bentuk perlindungan nilai,” katanya.

Lebih lanjut, menurut Listya, kenaikan harga emas yang drastis akhir-akhir ini tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dipicu kombinasi faktor fundamental dan psikologis. Dari sisi makroekonomi, ekspektasi bahwa The Federal Reserve akan memangkas suku bunga mendorong investor global mencari aset lindung nilai, karena real yield dari obligasi pemerintah turun.

Disisi lain, ketegangan geopolitik di berbagai kawasan termasuk konflik Israel–Iran, ketidakpastian Ukraina, serta perlambatan ekonomi Tiongkok, menambah kekhawatiran akan stabilitas global. Pembelian masif oleh bank sentral negara berkembang seperti Tiongkok, India, dan Kazakhstan juga mengurangi pasokan pasar dan memperkuat tekanan naik pada harga.

“Selain itu, pelemahan dolar AS selama kuartal pertama 2025 membuat emas menjadi relatif lebih murah bagi pembeli dari luar Amerika, sehingga permintaan global pun ikut terdorong,” kata dosen Jurusan Ilmu Ekonomi ini.

Tak hanya investor ritel, institusi dan bahkan bank sentral dunia juga turut menjadi pemain besar. Menurut data World Gold Council, bank sentral Tiongkok, Polandia, Turki, dan India adalah pembeli terbesar emas dunia dalam dua tahun terakhir. Motifnya jelas, emas dianggap sebagai aset perlindungan ketika kepercayaan terhadap mata uang fiat dan obligasi negara mulai melemah.

Emas Sebagai Safe Haven Assets

Menurut Listya, dalam teori keuangan klasik, emas menempati posisi unik sebagai safe haven asset, yaitu aset yang mampu mempertahankan nilainya atau bahkan mengalami apresiasi ketika terjadi tekanan sistemik pada pasar keuangan. Hal ini karena emas memiliki korelasi rendah, bahkan negatif, terhadap aset seperti saham dan obligasi.

“Menjadikannya pelindung nilai yang efektif dalam kondisi krisis atau ketidakpastian ekonomi,” kata peneliti UII ini.

Secara keilmuan, Listya menjelaskan konsep ini sejalan dengan kerangka Modern Portfolio Theory (MPT) yang dikembangkan oleh Harry Markowitz pada 1952. Teori MPT tersebut menekankan bahwa diversifikasi portofolio melalui alokasi ke aset-aset dengan korelasi rendah dapat menurunkan risiko total tanpa mengorbankan imbal hasil yang optimal.

Listya mengatakan, dalam situasi ketika pasar obligasi menunjukkan kinerja lemah, volatilitas saham meningkat, dan tekanan inflasi menggerus nilai uang, emas justru sering tampil sebagai aset defensif. Berbeda dari aset produktif yang tergantung pada kinerja korporasi dan ekspektasi pasar, emas adalah komoditas riil yang tidak menghasilkan arus kas.

“Tetapi juga tidak terekspos langsung pada risiko kegagalan bisnis atau kebijakan moneter yang tidak pasti,” kata Listya, menambahkan.

Oleh karena itu, menurut Listya, emas memainkan peran penting dalam strategi lindung nilai (hedging strategy) terhadap inflasi dan depresiasi mata uang. Ini selaras dengan temuan dalam studi empiris oleh Baur dan Lucey pada 2010 serta Capie, Mills, dan Wood pada 2005, yang menunjukkan emas secara historis memberikan stabilitas portofolio selama periode krisis ekonomi global.

Data dari World Gold Council pada 2024 mencerminkan fungsi ini secara nyata: permintaan emas global pada 2023 mencapai 4.974,5 ton, naik 1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Yang menarik, lebih dari 1.000 ton di antaranya dibeli oleh bank sentral, menandai tren konsisten selama tiga tahun terakhir di mana bank-bank sentral negara berkembang secara aktif menambah cadangan emas mereka.

“Langkah ini bisa dibaca sebagai upaya negara-negara tersebut dalam menyeimbangkan risiko cadangan devisa mereka yang sebelumnya sangat bergantung pada dolar AS dan obligasi pemerintah negara maju,” katanya.

Menurut Listya, dari perspektif Time Value of Money (TVM), logam mulia ini juga memiliki peran penting. Dalam teori tersebut, nilai uang saat ini lebih berharga dibandingkan nilai uang dimasa depan karena adanya inflasi, ketidakpastian, dan potensi pengembalian investasi. Dalam konteks itu, emas dipandang sebagai store of value yang mampu menjaga nilai riil kekayaan dari erosi inflasi.

Tidak seperti uang tunai yang nilainya dapat menyusut akibat kebijakan moneter longgar atau lonjakan harga barang, Listya berpendapat emas mempertahankan daya belinya dalam jangka panjang. Oleh karena itu, kata dia, aksi pembelian di saat harga emas melonjak oleh individu dan institusi dapat dimaknai bukan sebagai spekulasi belaka.

“Melainkan sebagai bentuk rasionalisasi alokasi aset untuk menjaga kestabilan nilai kekayaan dalam jangka panjang,” katanya.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |