TEMPO.CO, Jakarta - Mantan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) utang Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra terseret dalam kasus Harun Masiku terkait suap pengurusan anggota DPR RI periode 2019–2024 di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengusaha yang akrab dikenal sebagai Djoko Tjandra itu pun menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 9 April 2025.
Dalam keterangannya, Djoko mengaku tidak mengenal Harun Masiku. Dia juga menampik kabar mengenai pemberian bantuan untuk politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu selama di Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Oh enggak betul. Kenal aja enggak, gimana mau bantu?” ucap Djoko saat ditanya jurnalis setelah menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu, seperti dikutip dari Antara.
Selain itu, Djoko juga mengatakan bahwa dia tidak kenal dengan Donny Tri Istiqomah, salah satu tersangka dalam kasus suap tersebut. Dia menyebutkan bahwa dirinya hanya mengobrol santai dengan penyidik KPK saat diperiksa selama sekitar 3 jam.
Pemeriksaan terhadap Djoko Tjandra dalam perkara Harun Masiku menambah daftar kasus hukum yang pernah melibatkan pengusaha yang identik dengan Grup Mulia, pemilik bisnis inti properti itu. Berikut rangkuman informasi mengenai deretan kasus yang pernah menjerat Djoko Tjandra.
1. Kasus Cessie Bank Bali
Salah satu kasus hukum yang menyeret Djoko Tjandra adalah pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Skandal ini bermula pada tahun 1999, saat Kejaksaan Agung sempat menahan Djoko pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000 dalam kasus pengalihan hak tagih Bank Bali.
Namun, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan perbuatan Djoko termasuk dalam lingkup hukum perdata, sehingga pengusaha itu dibebaskan. Namun, pada 3 September 2008, Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali (PK).
Putusan Mahkamah Agung 11 Juni 2009 Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana 'turut serta melakukan tindak pidana korupsi' dan dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun. Atas PK jaksa itu, hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 15 juta subsider 3 bulan kurungan. Tapi sehari sebelum vonis dijatuhkan, Djoko kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009.
Djoko kemudian diketahui telah pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini pada Juni 2012. Namun, alih status warga negara itu tidak sah, sebab Djoko masih memiliki permasalahan hukum di Indonesia. Djoko Tjandra saat itu jadi buron, dan baru dieksekusi setelah tertangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2020.
2. Kasus Surat Jalan Palsu
Kasus ini berawal dari rencana Djoko Tjandra untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas kasus Bank Bali yang kembali menjeratnya. Ia lalu memalsukan surat jalan dengan menyamar sebagai konsultan yang akan melakukan perjalanan dinas dari Jakarta ke Pontianak menggunakan pesawat pada 19 hingga 22 Juni 2020.
Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemudian menjatuhkan vonis 2,5 tahun penjara kepada Djoko karena terbukti memalsukan surat jalan, surat keterangan tes Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan. Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Timur yaitu 2 tahun penjara.
“Memutuskan, menyatakan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut membuat surat palsu,” kata Ketua Majelis Hakim M Siradj dalam sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa, 22 Desember 2020.
3. Kasus Red Notice dan Fatwa Mahkamah Agung
Djoko Tjandra juga pernah terlibat dalam kasus penghapusan red notice agar tidak tercatat di perlintasan Imigrasi ketika keluar-masuk Indonesia saat menjadi buronan skandal Bank Bali. Dalam kasus tersebut, dua jenderal polisi dicopot dari jabatannya karena menerima suap dari Djoko.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono mengatakan Djoko mengakui telah memberi uang demi mengurus red notice. Djoko Tjandra dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan bulan oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi.
Mengutip dari Antara, Djoko Tjandra dinilai terbukti menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar 500 ribu dolar AS, memberikan suap senilai 370 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura kepada Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, serta 100 ribu dolar AS kepada Brigjen Prasetijo Utomo.
Sementara dalam perkara fatwa Mahkamah Agung (MA), dua orang terdakwa telah dijatuhi hukuman, yaitu Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya. Mantan jaksa Pinangki mendapatkan pengurangan masa hukuman, dari vonis awal 10 tahun menjadi 4 tahun penjara serta dikenai denda sebesar Rp600 juta dengan tambahan hukuman enam bulan kurungan jika tidak dibayar. Sementara itu, Andi Irfan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara, yang lebih berat dari tuntutan jaksa sebelumnya sebesar 2,5 tahun.
4. Terseret Kasus Suap Harun Masiku
Teranyar, Djoko Tjandra terseret dalam kasus dugaan suap pengurusan anggota DPR RI periode 2019–2024 di Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang melibatkan buronan Harun Masiku. Djoko lalu diperiksa KPK terkait dugaan pertemuannya dengan Harun Masiku di Kuala Lumpur, Malaysia.
“Informasi yang didapat dari penyidik, yang bersangkutan (Djoko Tjandra) dimintakan keterangannya terkait informasi pertemuan antara yang bersangkutan dengan saudara HM di Kuala Lumpur, Malaysia,” kata Tessa Mahardika di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Rabu, seperti dilansir dari Antara.
Tessa juga mengungkapkan bahwa dalam pertemuan tersebut, Djoko diduga pernah meminta bantuan kepada Harun Masiku untuk mengurus suatu hal. “Ada permintaan dari Saudara DST kepada Saudara HM untuk membantu mengurus sesuatu,” ujar dia.
Meski begitu, Tessa mengatakan bahwa KPK belum bisa membeberkan secara rinci isi pemeriksaan penyidik terhadap Djoko Tjandra pada hari itu. “Teknisnya masih belum dapat dibuka oleh penyidik. Masih memerlukan waktu untuk diperdalam,” tuturnya.
Ia juga menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada informasi mengenai dugaan adanya aliran dana dalam pertemuan di Kuala Lumpur. “Kalau aliran uang belum ada infonya,” jelas dia.
Adapun Harun Masiku adalah tersangka dalam kasus dugaan pemberian hadiah atau janji kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Wahyu ditangkap karena diduga menerima suap dari Harun untuk memuluskan langkahnya menggantikan Nazarudin Kiemas, anggota DPR RI dari PDIP yang meninggal dunia. Dalam kasus itu, Harun ditetapkan sebagai tersangka. Namun dia berhasil lolos dari operasi tangkap tangan atau OTT KPK pada 8 Januari 2020, dan menjadi buronan hingga saat ini.
Antara, M. Rizki Yusrial, Rindi Ariska berkontribusi dalam penulisan artikel ini.