TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan perang dagang menjadi salah satu pemicu rendahnya surplus neraca perdagangan April 2025 dalam kurun waktu 60 bulan terakhir. “Ini banyak terkait kebijakan tarif Trump,” kata Budi kepada wartawan di kantor Kementerian Perdagangan, Rabu, 4 Juni 2025.
Budi mengatakan Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami guncangan surplus neraca perdagangan atas dampak kebijakan tarif resiprokal pemerintah Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia bercerita sejumlah perwakilan negara yang ditemuinya pada acara Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN juga mengeluhkan kinerja ekspor mereka. “Kita juga ngobrol ternyata pengaruhnya bagi masing-masing sangat besar bahkan banyak eksportir yang cenderung masih menunggu,” kata Budi.
Para eksportir itu, kata Budi, tidak hanya menahan ekspor ke Amerika Serikat, tetapi juga negara lain. Terlebih saat ini belum ada kejelasan soal tarif karena masih melewati masa penundaan selama 90 hari terhitung sejak 9 April 2025.
Selain pengaruh tarif Trump, kinerja ekspor juga dipengaruhi oleh masa libur Lebaran. “Karena libur sehingga ekspor juga berkurang,” kata Budi.
Secara kumulatif pada Januari–April 2025 nilai ekspor memang mengalami peningkatan secara year-on-year sebesar 6,65 persen atau mencapai US$ 87,36 miliar. Kendati demikian, nilai ekspor secara bulanan atau month-to-month pada April 2025 justru mengalami penurunan hingga 10,77 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan April 2025 surplus sebesar US$ 0,16 miliar atau US$ 160 juta. “Secara bulanan, surplus April 2025 ini merupakan surplus terendah sejak Mei 2020,” kata Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini kepada wartawan, Senin, 2 Juni 2025.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, neraca perdagangan 2024 mencatat surplus sebesar US$ 2,72 miliar. Rendahnya neraca perdagangan pada April 2025, kata Pudji, dipicu oleh penurunan nilai ekspor sebesar 10,77 persen dibandingkan Maret 2025.
Adapun surplus neraca perdagangan pada April 2025 ditopang oleh sektor nonmigas yang menoreh nilai positif sebesar US$ 1,51 miliar dengan komoditas penyumbang utama bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewani/nabati, serta besi dan baja. Sementara sektor minyak dan gas (migas) mengalami defisit US$ 6,19 miliar. “Penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah,” kata Pudji.
Kendati demikian, Pudji menyatakan, neraca perdagangan Indonesia masih berada pada posisi positif selama 60 bulan berturut-turut atau sejak Mei 2020. Secara kumulatif, neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari–April 2025 surplus sebesar US$ 11,07 miliar atau meningkat sebesar US$ 0,95 miliar atau naik 6,65 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Adapun peningkatan ekspor didorong oleh sektor industri pengolahan dengan total nilai ekspor sebesar US$ 68,84 miliar atau meningkat hingga 16,08 persen.
Salah satu komoditas unggulan yang mencatat pertumbuhan ekspor yang tinggi sepanjang Januari-April 2025 adalah besi dan baja dengan nilai mencapai US$ 8,81 miliar atau naik 6,62 persen. Ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan produk turunannya juga mengalami kenaikan sebesar 20 persen menjadi US$7,05 miliar.