TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mewanti-wanti potensi kerusakan beras lebih tinggi dari hasil penggilingan gabah multikualitas. “Risikonya besar dan bisa jadi akan lebih pendek usia berasnya,” kata Koordinator Nasional KRKP, Ayip Said Abdullah, saat dihubungi, Selasa, 3 Juni 2025.
Keresahan itu disampaikan Ayip atas kebijakan pemerintah yang mewajibkan Badan Urusan Logistik (Bulog) menyerap semua gabah petani tanpa memperhatikan kualitas atau any quality. Menurut dia, ketentuan yang diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 14 Tahun 2025 itu memiliki risiko jangka panjang terhadap sektor pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika kebijakan itu diteruskan, kata Ayip akan ada kecenderungan bagi para petani untuk memproduksi padi secara asal-asalan dan tidak sesuai dengan sistem sertifikasi proses produksi pertanian atau good agricultural practices (GAP). “Karena enggak ada bedanya kan yang memproduksi dengan cara yang sangat baik, yang ramah lingkungan dengan yang enggak tuh harganya sama,” tutur Ayip.
Ayip mengatakan para petani akan mengejar waktu panen lebih cepat. Bahkan bisa jadi mereka menyerahkan gabah yang sebetulnya belum siap panen. Akibatnya, Bulog berpotensi menerima gabah kering panen dengan kadar air sangat tinggi. “Kalau kadar airnya tinggi tingkat kerusakannya lebih cepat, misalnya jamuran dan seterusnya,” kata dia. Risiko beras rusak juga lebih tinggi jika penyimpanan atau penanganan stok di Bulog tidak memenuhi standar.
Selain risiko beras rusak semakin tinggi, Ayip mengatakan mutu beras dari gabah campuran itu tidak akan sampai pada jenis premium. Selain itu, gabah kering panen dengan kadar air tinggi juga menyebabkan penyusutan bobot saat proses pengolahan.
Secara visual, beras dari gabah dengan kadar air tinggi cenderung berwarna lebih gelap. Sementara menurut Ayip, konsumen tidak menyukai beras berwarna keruh. “Kalau ini dipasarkan oleh Bulog ada implikasi ke pasar kan dia harus bersaing dengan pasar bebas, seberapa kuat dia?”.
Terlebih, saat ini pemerintah tidak memiliki program untuk penyaluran beras. Ia mencontohkan program beras miskin atau raskin yang membantu penyaluran beras Bulog. Terlebih, kata Ayip, saat ini pemerintah mengurangi porsi bantuan sosial berupa komoditas. “Kan jadi bantuan nontunai, jadi kehilangan pasarnya,” ujar dia.
Ayip meminta Bulog menimbang potensi risiko tersebut sebagai peringatan dini. Tujuannya, agar mereka dapat menangani dan mengolah gabah petani dengan baik untuk menghindari risiko itu. “Pemerintah juga rugi karena subsidi kan, Nulog sendiri juga harus hidup karena dia perusahaan umum, kalau ini gagal rusak terus ya produknya dia enggak ada.”
Selain kerugian terhadap pemerintah, Ayip juga mengingatkan pemerintah bahwa masyarakat selaku konsumen berhak untuk mendapatkan produk yang baik.