TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perdagangan Cina memberlakukan pembatasan ekspor pada tujuh komoditas tanah jarang (rare earth elements atau REE) dan magnet yang digunakan di sektor pertahanan, otomotif, dan energi pada Jumat, 4 April 2025. Hal tersebut sebagai langkah balasan atau retaliasi atas tarif resiprokal alias tarif timbal balik impor yang ditetapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Melansir laman Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pembatasan ekspor itu berlaku pada tujuh dari 17 REE, yaitu disprosium, gadolinium, itrium, lutetium, samarium, skandium, dan terbium. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan komoditas tanah jarang?
Mengenal Komoditas Tanah Jarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengacu pada dokumen yang diunggah di situs prosiding.perhapi.or.id, logam tanah jarang (LTJ) atau REE adalah suatu komoditas yang terdiri dari 17 unsur pada tabel periodik, meliputi 15 unsur yang dimulai dari nomor atom 57 (lanthanum) hingga nomor atom 71 (lutetium), serta dua unsur lain yang mempunyai sifat serupa, yaitu yttrium dan skandium.
Ketujuh belas unsur logam itu memiliki banyak kemiripan sifat dan sering ditemukan bersama-sama dalam satu endapan secara geologi. Keberadaan logam tanah jarang banyak dijumpai dengan konsentrasi rendah, tetapi tersebar luas di dalam kerak bumi.
Misalnya, thulium (Tm) dan lutetium (Lu) adalah dua unsur yang kelimpahannya paling kecil di kerak bumi, tetapi 200 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelimpahan emas (Au). Kendati demikian, unsur-unsur tersebut sangat sukar untuk ditambang, lantaran konsentrasinya tidak cukup tinggi dan mahalnya biaya pemrosesan.
Ketersediaan Komoditas Tanah Jarang di Cina
Keberadaan logam tanah jarang tersebar di berbagai negara, seperti Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan negara lainnya, termasuk Indonesia. Namun, Cina mempunyai cadangan sebesar 55 persen dari total cadangan logam tanah jarang yang ada di dunia.
Angka tersebut merupakan jumlah yang terbesar di dunia, lalu diikuti dengan gabungan dari negara-negara pecahan Uni Soviet sebesar 19 persen dan Amerika Serikat sebesar 13 persen dari total 110 juta ton. Tak hanya sebagai pemilik cadangan terbesar, Cina juga berperan sebagai negara pemasok rare earth elements terbanyak.
REE dianggap sebagai komoditas mineral “panas” di dunia industri, terutama setelah Cina memberlakukan kebijakan pemotongan ekspor. Negeri Tirai Bambu mulai memegang kendali atas komoditas logam tanah jarang sejak abad ke-21. Beberapa negara pun terdampak kebijakan Cina tersebut, seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Logam tanah jarang menjadi salah satu komoditas penting dalam kemajuan teknologi, terutama di bidang persenjataan. REE banyak digunakan dalam produksi peluru kendali presisi, bom pintar, interrogator, laser, ranjau bawah air, dan masih banyak lainnya.
Komoditas Tanah Jarang di Indonesia
Logam tanah jarang di Indonesia umumnya tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Namun, sebagian besar REE diproduksi sebagai produk sampingan dari perusahaan induk komoditas lain, seperti emas, timah, dan tembaga. Salah satu perusahaan yang menambang LTJ di tanah air adalah PT Timah Tbk.
Melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu, Indonesia berencana memulai proyek percontohan untuk memproses produk sampingan LTJ dari tailing timah, serta menghasilkan sekitar 50 kilogram REE per tahun, terutama lanthanum, serium, praseodimium, dan neodimium. Angka tersebut dianggap tidak ekonomis untuk pemisahan lebih lanjut, karena biaya pemrosesan yang tinggi dan berakhir sebagai bahan stockpile.