Jakarta (ANTARA) - Salju abadi yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia di Puncak Jayawijaya, Papua, kini menghadapi ancaman kepunahan. Perubahan iklim global yang semakin parah menjadi faktor utama yang mempercepat pencairan salju di ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut ini.
Fenomena ini tidak hanya menjadi kehilangan ekologis yang besar, tetapi juga berdampak pada ekosistem dan budaya masyarakat setempat.
Salju abadi yang terancam punah
Puncak Jayawijaya, yang terletak di Pegunungan Sudirman, merupakan satu-satunya tempat di Indonesia yang memiliki gletser. Salju di puncak ini terbentuk dari proses alami yang telah berlangsung selama lebih dari 5.000 tahun.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa luas gletser yang tersisa kini hanya sekitar 0,23 kilometer persegi pada tahun 2022, dan terus menyusut hingga 0,11 kilometer persegi.
BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) memperkirakan bahwa salju abadi di Puncak Jayawijaya akan benar-benar hilang pada tahun 2026.
Prediksi ini bukan tanpa dasar; sejak tahun 1850, luas gletser yang awalnya mencapai 19,3 kilometer persegi terus menyusut secara drastis. Pada tahun 1972, luasnya hanya tersisa 7,3 kilometer persegi, dan pada 2018 menyusut menjadi 0,5 kilometer persegi.
Selain akibat peningkatan suhu global, faktor lain yang mempercepat pencairan gletser adalah meningkatnya curah hujan di kawasan Papua.
Dahulu, embun dan uap air di Puncak Jayawijaya akan membeku dan membentuk salju. Namun, kini hujan lebih sering turun dan mempercepat pencairan es. Panas yang dipancarkan dari bebatuan pegunungan juga berkontribusi dalam mencairkan salju dari bawah.
Baca juga: BMKG temukan ketebalan tutupan es di Papua berkurang empat meter
Dampak kehilangan salju abadi
Hilangnya salju abadi di Puncak Jayawijaya tidak hanya berdampak pada lanskap alam, tetapi juga kehidupan masyarakat sekitar. Beberapa dampak utama yang dapat terjadi antara lain:
1. Perubahan ekosistem
Salju di Puncak Jayawijaya berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di daerah pegunungan Papua. Kehilangan gletser dapat mempengaruhi sumber air yang digunakan oleh flora dan fauna setempat serta masyarakat adat.
2. Perubahan aliran sungai
Gletser di Puncak Jayawijaya berkontribusi terhadap pasokan air bagi sungai-sungai di Papua. Ketika gletser menghilang, aliran sungai dapat berkurang secara signifikan, mengancam pasokan air bagi masyarakat dan ekosistem di daerah hilir.
3. Hilangnya nilai budaya dan spiritualitas
Bagi masyarakat adat Papua, terutama suku Dani dan suku lainnya di sekitarnya, gletser di Puncak Jayawijaya memiliki nilai spiritual dan budaya yang tinggi. Mereka menganggap gletser sebagai entitas sakral. Kehilangannya akan menjadi kehilangan simbolis yang besar bagi mereka.
Penyebab pencairan gletser
Pencairan gletser di Puncak Jayawijaya terutama disebabkan oleh pemanasan global yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca. Berdasarkan laporan Indonesian Third National Communication, suhu permukaan di Indonesia meningkat rata-rata 1,5 derajat Celsius dengan peningkatan 0,25 derajat Celsius per dekade.
Selain itu, fenomena El Niño juga mempercepat pencairan gletser. Fenomena ini menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut dan atmosfer yang berujung pada berkurangnya curah hujan di beberapa wilayah serta meningkatnya intensitas hujan di wilayah lain, termasuk Papua. Akibatnya, salju yang seharusnya terbentuk justru digantikan oleh hujan yang semakin mempercepat pencairan es.
Baca juga: Sepekan, es abadi Puncak Jaya mencair hingga uji coba atom
Apa yang dapat dilakukan?
Mencegah hilangnya salju abadi di Puncak Jayawijaya mungkin sudah terlambat, namun masih ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperlambat dampak perubahan iklim yang lebih luas. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1 Mengurangi emisi karbon
Pemanasan global adalah penyebab utama pencairan gletser, sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca harus menjadi prioritas utama. Ini bisa dilakukan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, meningkatkan efisiensi energi, dan beralih ke sumber energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.
2. Mendorong konsumsi berkelanjutan
Konsumsi yang bertanggung jawab dapat membantu mengurangi dampak lingkungan. Memilih produk yang ramah lingkungan dan mengurangi limbah dapat membantu menekan laju perubahan iklim.
3. Edukasi dan kesadaran publik
Banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui tentang keberadaan gletser atau salju di Puncak Jayawijaya. Kampanye kesadaran lingkungan yang lebih luas diperlukan agar masyarakat lebih memahami dampak perubahan iklim dan pentingnya menjaga lingkungan.
Hilangnya salju abadi di Puncak Jayawijaya adalah bukti nyata bahwa perubahan iklim bukan lagi sekadar teori, tetapi sebuah kenyataan yang berdampak langsung.
Ini adalah panggilan bagi setiap individu untuk bertindak. Jika tidak segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi dampak perubahan iklim, maka bukan hanya gletser di Papua yang akan hilang, tetapi juga ekosistem dan keseimbangan lingkungan yang lebih luas. Saatnya bertindak demi masa depan bumi dan generasi mendatang.
Baca juga: Salju abadi Puncak Jaya terus tergerus, KLHK: Kerugian besar bagi RI
Baca juga: BMKG: Salju abadi Puncak Jaya cair, perubahan iklim mengkhawatirkan
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025