Potensi Masalah dari Rencana Pemerintah Ubah Lapas Jadi Perumahan

5 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Menteri PKP) Maruarar Sirait membuka peluang menyulap Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Cipinang, Jakarta Timur, menjadi perumahan. “Lapas Cipinang itu menurut saya pantas untuk jadi pilot project,” kata Maruarar kepada wartawan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat, 23 Mei 2025.

Alasannya, Maruarar mengatakan Lapas Cipinang berada di lokasi strategis. Selain itu, ia juga mempertimbangkan kondisi lapas yang dihuni sekitar 2 ribu warga binaan. “Di situ kan sudah overcrowded, ada fungsi sosial juga, sudah terlalu banyak kita manusiawi juga,” kata dia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ara mengungkapkan usulan mengalihfungsikan lapas menjadi perumahan adalah usulan dari Presiden Prabowo Subianto. “Itu kan perintah presiden, kepada saya langsung dan kepada Pak Agus (Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan). 

Ia akan mempelajari wacana alih fungsi lahan termasuk membahasnya dengan pihak pengembang. “Kami juga dengar pendapat publik, ahli-ahli, kami melibatkan developer dari awal supaya masukannya juga jangan nanti komprehensif,” ujar dia. 

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritik keras rencana pemerintah mengalihfungsikan Lapas Cipinang dan Salemba menjadi kawasan perumahan rakyat. Kebijakan tersebut dinilai berpotensi melanggar hak asasi para narapidana dan tidak menyentuh akar persoalan kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan.

LBHM menilai rencana tersebut mesti dikaji ulang karena mengandung banyak masalah, mulai dari potensi pelanggaran hak narapidana, partisipasi publik yang nihil, hingga kekhawatiran soal konflik kepentingan bisnis.“Kebijakan yang dicanangkan pemerintah tentang pengalihfungsian Lapas Cipinang dan Salemba menjadi perumahan rakyat menumbalkan berbagai pihak khususnya narapidana yang sedang menjalani proses reintegrasi. Rencana ini bisa melanggar hak narapidana sebagaimana yang tertuang pada Pasal 9 Huruf F dan Huruf I UU Pemasyarakatan,” kata Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM dalam keterangannya dikutip Sabtu, 24 Mei 2025.

Awaludin menilai pernyataan itu bermasalah karena mengabaikan hak dasar para narapidana. Menurut dia, kunjungan keluarga memiliki peran penting dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial narapidana. Selain itu, pemindahan juga akan mengganggu akses bantuan hukum yang efektif, terutama bagi narapidana yang masih menjalani proses hukum. “Pemindahan ke luar kota akan menyulitkan kunjungan keluarga dan pengacara,” katanya. 

Dari data LBHM, saat ini ada sekitar 4.114 orang yang menghuni dua lapas tersebut. Sebanyak 25 di antaranya masih berstatus sebagai tahanan. Jika dipindahkan ke daerah terpencil, proses persidangan dan pendampingan hukum menjadi semakin berat, baik bagi narapidana maupun aparat penegak hukum.

LBHM juga menyampaikan kekhawatiran soal prioritas ekonomi di balik kebijakan ini. Menurut mereka, pemerintah terkesan lebih mementingkan nilai strategis lahan dibanding aspek kemanusiaan. Hal itu tampak dari daftar pengembang besar yang dilibatkan dalam pembicaraan awal proyek, seperti PT Ciputra Development Tbk, Sinarmas Land, hingga PT Summarecon Agung Tbk. “Over kapasitas penjara seharusnya dijawab dengan reformasi kebijakan hukum pidana, bukan alih fungsi lahan. Fakta bahwa penghuni penjara didominasi oleh kasus narkotika seharusnya mendorong revisi UU Narkotika, bukan justru menggusur narapidana,” ucap dia. 

LBHM mendesak pemerintah untuk membuka ruang partisipasi publik, melakukan kajian HAM secara komprehensif, dan tidak menjadikan narapidana sebagai korban proyek mercusuar. “Negara punya kewajiban menjunjung prinsip non-diskriminasi dan keadilan sosial, termasuk bagi mereka yang menjalani hukuman,” kata Awaludin.

Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 
Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |