Jakarta (ANTARA) - Kendati pemungutan suara dini sudah dilakukan sejak pertengahan Oktober lalu, rakyat Amerika Serikat (AS) serentak memberikan suaranya untuk memilih presiden, kepala daerah dan anggota legislatif yang baru pada Selasa pagi 5 November waktu setempat, atau Selasa malam WIB nanti.
Khusus pemilihan presiden, tahun ini mungkin menjadi Pilpres yang paling ketat dan sengit, yang bahkan melampaui kesengitan Pemilu 2000 ketika George W. Bush mengalahkan Al Gore dengan suara tipis sekali sampai mengharuskan adanya intervensi dari Mahkamah Agung.
Keyakinan bahwa Pemilu 2024 bakal sengit didasarkan kepada hasil jajak pendapat yang menunjukkan Kamala Harris, yang saat ini menjabat wakil presiden AS, dan Donald Trump, yang mantan presiden, bersaing ketat dalam selisih begitu tipis.
Tiga hari lalu laman majalah Newsweek mengungkapkan bahwa selisih suara Harris dan Trump bahkan lebih tipis ketimbang selisih suara hasil jajak pendapat untuk Pemilu 2016 ketika Trump mengalahkan Hillary Clinton dan Pemilu 2020 ketika Trump dikalahkan Joe Biden.
Secara umum, dari berbagai jajak pendapat, Harris memang mengungguli Trump. Namun keunggulan itu tipis sekali.
Menurut situs analisis jajak pendapat FiveThirtyEight, Harris unggul 1,2 poin persen pada angka 48 persen, dibandingkan Trump pada 46,8 persen.
Sebaliknya, RealClearPolitics, menyimpulkan Trump unggul tipis 0,3 poin persen pada 48,4 persen, dibandingkan dengan Harris pada 48,1 persen.
Itu jajak pendapat yang hasilnya dipublikasikan pada 1 November. Angka-angka itu tetap sama ketat dengan hasil jajak pendapat yang dipublikasikan sehari sebelum pemungutan suara mulai Selasa malam WIB nanti.
Bahkan, NBC News dan Emerson menyatakan kedua calon presiden sama kuat pada angka 49 persen.
Sejumlah hasil jajak pendapat lain menunjukkan Harris unggul tipis, termasuk New York Times/Sienna yang menyebutkan sang wakil presiden unggul tipis di sejumlah negara bagian suara mengambang yang selalu menjadi penentu kemenangan pemilu.
Jajak pendapat lain seperti ABC News/Ipsos dan Forbes/HarrisX pada 4 November, menunjukkan Harris unggul tipis tiga dan satu poin persen dari Trump.
Angka itu jauh lebih tipis dengan selisih suara dari jajak pendapat Hillary Clinton dan Trump pada 2016 ketika Clinton unggul sampai rata-rata 4 poin persen, dan hasil jajak pendapat Joe Biden dan Trump pada 2020 di mana Biden unggul 7-8 poin persen.
Jika keunggulan Biden ditutup dengan kemenangan pada Pemilu 2020, maka keunggulan Clinton berakhir dengan kekalahan pada Pemilu 2016.
Bahkan imbang
Hillary Clinton kalah jumlah electoral vote tetapi unggul jumlah suara rakyat AS yang memilihnya (popular vote).
Tak seperti di Indonesia, seorang calon presiden AS disimpulkan memenangkan Pilpres jika mendapatkan minimal 270 electoral vote atau lebih dari 50 persen dari total 538 electoral vote.
Electoral vote adalah jumlah jatah perwakilan/suara untuk sebuah negara bagian. konsep ini mirip dengan jatah kursi DPR RI untuk masing-masing provinsi di Indonesia, yang juga tergantung jumlah penduduk untuk setiap provinsi atau negara bagian.
Negara bagian-negara bagian berpenduduk banyak seperti California, Florida, dan New York, pastinya memiliki jumlah electoral vote yang lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara bagian berpenduduk sedikit seperti Alaska, Maine dan Vermont.
Itu seperti jumlah jatah kursi DPR RI, untuk misalnya provinsi Jawa Barat, yang tidak akan sama dengan jumlah jatah suara, misalnya Kalimantan Timur, yang jumlah penduduknya memang jauh lebih sedikit dibandingkan Jawa Barat.
Jatah electoral vote sendiri tak bisa dibagi atas jumlah perolehan suara yang didapat seorang calon presiden.
Sebaliknya, seorang calon presiden dinyatakan memenangkan seluruh jatah electoral vote di sebuah negara bagian, kendati unggul sangat tipis, bahkan kurang dari satu poin persen.
Jadi, misalnya, jika Trump unggul suara 0,5 poin persen di Pennsylvania, yang memiliki 19 electoral vote dan termasuk negara bagian suara mengambang (swing state), maka Trump dinyatakan telah memenangkan seluruh 19 electoral vote untuk Pennsylvania.
Di negara bagian-negara bagian suara mengambang seperti Pennsylvania inilah hasil Pilpres AS ditentukan.
Negara bagian suara mengambang lainnya untuk Pemilu AS, adalah Georgia, North Carolina, Michigan, Arizona, Wisconsin dan Nevada.
Di tujuh negara bagian ini, selisih suara pemilih Demokrat dan Republik sangat tipis.
Sebaliknya, di 43 negara bagian lainnya, selisih suara pendukung kedua partai biasanya lebar, sehingga tak terlalu menjadi perhatian para calon presiden.
Dan di negara-negara bagian suara mengambang ini pula Harris dan Trump berjibaku dalam kampanye akhir mereka serta saling mengungguli dengan selisih sangat tipis, bahkan imbang.
Bisa bergejolak
Selisih suara mereka bahkan jauh lebih tipis dibandingkan dengan selisih suara dari berbagai jajak pendapat menjelang pemilu 2016 dan 2020.
Fakta itu menjadi petunjuk bahwa Pemilu 2024 akan berlangsung sengit dan mungkin bergejolak.
Kesengitan itu bisa mengulangi atau bahkan melampaui kesengitan Pemilu 2000 dan 2004 ketika George W. Bush mengalahkan Al Gore dan John Kerry.
Pemilu 2000 dan 2004 dianggap bisa dimenangkan siapa pun. John Kerry bahkan dianggap akan mengalahkan George Bush yang waktu itu berlaku sebagai petahana.
Sementara pada Pemilu 2000 ketika hasil Pemilu ditentukan oleh hasil suara di negara bagian Florida, pemenang Pemilu harus melibatkan intervensi Mahkamah Agung akibat begitu tipisnya perbedaan suara sehingga komisi pemilu tak bisa menyimpulkan siapa pemenangnya (too close to call).
Pemilu 2000 menjadi pemilu yang sangat kontroversial dan sangat membelah rakyat AS.
Dan suasana Pemilu 2000 kemungkinan terulang pada Pemilu 2024. Hasil berbagai jajak pendapat menjelang pemungutan suara pada kedua pemilu, juga sama-sama berselisih tipis.
Dalam pemahaman ini, jika Trump yang menang, mungkin tak akan ada gejolak besar di AS. Jika skenario ini yang terjadi, maka Kamala Harris mungkin mengambil sikap sama dengan Al Gore dan Kerry yang menerima kalah masing-masing pada Pemilu 2000 dan 2004.
Sebaliknya, jika Harris yang memenangkan Pemilu 2024, maka, berdasarkan pengalaman 2020 ketika Trump tidak menerima kalah dari Biden, maka politik AS bisa bergejolak lagi, yang mungkin lebih keras.
Padahal pada Pemilu 2020, baik dari hasil berbagai jajak pendapat, jumlah electroral vote maupun jumlah popular vote, Trump kalah cukup telak dari Biden.
Dengan skenario-skenario seperti itu, Pemilu 2024 menjadi momen yang sangat menentukan untuk wajah AS berikutnya, tidak saja dalam kaitannya dengan konsolidasi nasional dan kohesi sosial di AS, termasuk rasisme.
Tapi juga dengan bagaimana AS berhubungan dengan dunia luar, mengingat Trump dan Harris merangkul pendekatan dan kebijakan yang bertolak belakang satu sama lain.
Harris bakal merawat multilateralisme, sebaliknya Trump menjauhi multilateralisme.
Untuk itu, bagi dunia, jika Trump yang menang maka nafas sebagian besar dunia akan jauh lebih kencang ketimbang jika Harris yang memenangkan Pemilu ini.
Baca juga: Media: Jelang Pilpres, banyak warga AS hendak pindah keluar negeri
Baca juga: Negara bagian kunci AS bentuk strategi akhir kampanye Harris-Trump
Baca juga: Harris berjanji akhiri perang di Gaza jika terpilih jadi presiden AS
Baca juga: Trump janji hentikan penderitaan dan kehancuran Lebanon jika terpilih
Copyright © ANTARA 2024