Dedi Mulyadi ke KPAI: Kritiklah Orang yang Tidak Bekerja

7 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi merespons kritik Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI terhadap program pendidikan di barak militer bagi anak-anak nakal yang ia inisiasi. Dalam wawancara dengan Tempo, Dedi mempertanyakan motif di balik kritik lembaga negara tersebut, yang menyoroti dugaan intimidasi dan pelanggaran hak anak dalam program itu.

“Coba tanya deh ke anak-anak itu. Tanya orang tuanya juga. KPAI itu harusnya ngurusin orang yang tidak diurus, bukan ngurusin orang yang sudah diurus,” kata Dedi kepada Tempo, Jumat, 23 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan selama ini tidak ada yang membuat gebrakan dan mengurus permasalahan anak, seperti kenakalan remaja, tawuran, mabuk-mabukan dan kecanduan gim. Tetapi setelah ia bergerak, Dedi heran mengapa ia disorot dan terus dikritisi. Ia juga menantang KPAI soal program apa yang tepat dan bisa menyelesaikan masalah tersebut.

“Coba deh urusin saja pemerintah yang tidak concern, pemerintah yang tidak mengurus pendidikan, pemerintah yang membiarkan anak-anaknya telantar. Kalau ini kan sudah jadi tugas kita. Orang sudah punya kesadaran mengurus masalah, ini kok malah sibuk mengurusi orang yang lagi menyelesaikan masalah?” tutur Dedi.

Perihal evaluasi siswa angkatan pertama dalam program tersebut masih dirampungkan. Ia menegaskan evaluasi itu juga bukan menjadi kewenangannya secara langsung, melainkan dilakukan oleh para pelatih dan pendamping fisik yang terlibat dalam pelaksanaan program. Ia mengklaim, mayoritas peserta program telah kembali ke keluarga masing-masing, sementara 13 anak yang belum dijemput orang tua kini tinggal bersamanya.

“Pertanyaannya, apa kita punya hati? Sudah lihat kan videonya? Setelah dipulangkan itu tangisan anak dan orang tua berpelukan, apakah itu bukan peristiwa rohaniah? Itu bukan kesadaran sosial?” ujarnya.

Dedi meminta pekerjaannya untuk mengurusi anak-anak yang bermasalah tidak terus disorot dan dikritik. “Kritiklah orang yang tidak bekerja. Orang yang bekerja, ada kesalahan tiga, tapi kebenarannya ada tujuh, mending pilih yang mana?” katanya.

Sebelumnya, KPAI menilai Program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa yang dilaksanakan di barak militer berpotensi melanggar prinsip dasar perlindungan anak. Program itu dikenal luas sebagai bentuk “pendidikan barak militer bagi anak nakal”, dan dikembangkan atas inisiatif Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.

Ketua KPAI Ai Maryati Solihah mengatakan program yang telah berjalan sejak 2 Mei 2025 ini harus dijalankan dengan menjunjung prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak, hak hidup dan tumbuh kembang, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Ia mengkritik adanya stigma terhadap peserta program yang dilabeli sebagai "anak nakal" atau "anak bermasalah".

“Salah satu bentuk pelanggaran tercermin dari praktik diskriminatif dan tidak dilibatkannya anak dalam proses. Ini berdampak pada tumbuh kembang mereka, serta berpotensi mengabaikan hak-hak anak lainnya,” kata Ai Maryati dalam konferensi pers secara daring, Jumat, 16 Mei 2025.

Program Panca Waluya itu diketahui merupakan bagian dari implementasi Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan diatur melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 43/PK.03.04/Kesra. Di dalamnya, anak-anak dengan perilaku khusus seperti terlibat tawuran, merokok, balapan motor, dan perilaku tidak terpuji lainnya, dibina secara khusus melalui kerja sama antara pemda, TNI, dan Polri.

KPAI melakukan kunjungan langsung ke lokasi pelaksanaan program di Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi, Cikole, Kabupaten Bandung Barat. Tujuan kunjungan ini untuk memperoleh informasi lapangan secara akurat serta memastikan adanya mitigasi risiko pelanggaran hak anak.

Dalam pengawasan itu, KPAI berdialog dengan berbagai pihak, termasuk penyelenggara, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, serta para peserta didik. KPAI juga menyebar instrumen pengawasan kepada 90 peserta, melakukan wawancara tertutup dengan anak-anak, dan mengamati langsung proses pelatihan dan aktivitas harian.

Ai Maryati mengatakan pendekatan pendidikan bergaya militer semacam ini hanya memberikan dampak sementara jika tidak didukung oleh ekosistem perlindungan anak yang memadai. “Peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial sangat penting agar pendidikan karakter dapat tumbuh secara berkelanjutan dan tidak bersifat koersif,” ujarnya.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |