TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) menolak kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat berupa pengiriman anak-anak nakal atau berperilaku menyimpang ke barak militer untuk menjalani pembinaan.
"Pendekatan militeristik terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau memiliki latar belakang sosial bermasalah, tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya, yakni kegagalan sistem pengasuhan di tingkat keluarga dan minimnya intervensi berbasis perlindungan anak di tingkat lokal," kata Direktur Eksekutif Yayasan PKPA Keumala Dewi, dilansir dari Antara, Selasa kemarin, 7 Mei 2025.
Menurut dia, banyak dari anak-anak tersebut justru merupakan korban dari pengabaian, kekerasan, atau disfungsi keluarga. Keumala Dewi berpendapat rehabilitasi pertama seharusnya dimulai dari rumah dan dukungan sistem keluarga.
"Ketika seorang anak berbuat salah, yang harus dibenahi adalah lingkungan dan sistem pendukungnya, bukan semata-mata anaknya yang dibawa ke dalam sistem pembinaan keras dan tertutup," kata dia.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menggulirkan rencana untuk "menyekolahkan" siswa bermasalah di provinsi tersebut agar dididik di barak militer yang diterapkan mulai 2 Mei 2025.
Pelajar yang dikirim ke markas TNI di antaranya adalah yang diduga terlibat tawuran, merokok, hingga menyalahgunakan narkoba. Mereka dikirimkan atas izin orang tua dan akan menjalani pendidikan paling cepat dua pekan hingga enam bulan.
Saat meninjau pelaksanaan program tersebut di Purwakarta, Sabtu, 3 Mei 2025 Dedi menyebut pembinaan karakter terhadap pelajar di Markas TNI Resimen Armed 1/Sthira Yudha/1 Kostrad Kabupaten Purwakarta berdampak positif pada peningkatan kedisiplinan pelajar.
"Program ini (pembinaan karakter pelajar di markas TNI) memberikan dampak positif pada peningkatan kedisiplinan pelajar," ucap Dedi.
Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, melaksanakan program tersebut bagi 30 orang siswa SMP di Cianjur pada Selasa, 6 Mei 2025. Siswa tersebut akan diantarkan orang tuanya masing-masing ke tangsi militer. Bupati Cianjur Mohamad Wahyu Ferdian mengatakan memantau dan mendata siswa SMP bermasalah yang terlibat kenakalan. Tercatat sebanyak 30 orang siswa kerap terlibat tawuran, kekerasan dan mabuk-mabukan.
"Pemantauan dilakukan ke sejumlah wilayah di Cianjur, di mana terdapat puluhan siswa SMP yang bermasalah, sehingga melakukan koordinasi dengan orang tua menawarkan jalan pembinaan yang mendapat respons positif," kata dia.
Menurut Wahyu sebagian besar orang tua siswa bermasalah dengan sukarela menitipkan anak mereka untuk mendapat pembinaan di barak militer. Harapannya anak-anak itu bisa berubah menjadi lebih baik demi masa depan yang masih panjang. Pemkab Cianjur mulai menerapkan pembinaan di barak bagi siswa yang dianggap bermasalah atau nakal dengan pendekatan pendidikan bela negara bekerja sama dengan Kodim 0608 Cianjur.
Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mendukung kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi tersebut. Tapi Pigai memberi syarat, yaitu anak-anak yang dicap bermasalah itu tidak boleh diberi corporal punishment atau hukuman fisik. Menurut Pigai mencubit atau memukul merupakan bentuk hukuman fisik. "Cubit telinga, memukul, atau pukul kakinya supaya disiplin, itu namanya corporal punishment," kata Pigai di Kantor Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Selasa, 6 Mei 2025.
Menurut Pigai, hukuman fisik bertentangan dengan HAM. Karena itu, siswa yang dikirim ke barak militer tidak boleh mendapat hukuman fisik.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro berharap Dedi Mulyafi meninjau kembala program tersebut. “Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan edukasi, civic education,” kata Atnike ditemui usai acara di kantor Komnas HAM, Jumat pekan lalu.
Daniel A. Fajri dan Sultan Abdurrahman berkontribusi pada penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: DPR Kritik Langkah Dedi Kirim Anak Nakal ke Barak Militer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini