TEMPO.CO, Jakarta - Dua puluh tujuh tahun berlalu sejak Reformasi 1998 meletus, namun luka sejarah yang ditinggalkannya masih terasa hingga kini. Kerusuhan Mei 1998 menjadi satu dari sekian catatan kelam perjalanan bangsa, di mana ribuan nyawa melayang, ratusan wanita menjadi korban kekerasan seksual, dan etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa.
Peristiwa tersebut tidak hanya mengguncang sistem kekuasaan Orde Baru, tetapi juga meninggalkan tanda tanya besar tentang akuntabilitas negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Tragedi Trisakti dan Ledakan Kerusuhan
Rangkaian peristiwa dimulai pada 12 Mei 1998, ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak aparat dalam aksi damai menuntut reformasi. Sehari kemudian, ledakan kerusuhan Mei 1998 menyebar cepat dari Jakarta ke berbagai kota seperti Medan, Palembang, Solo, hingga Surabaya. Dalam waktu tiga hari, 13-15 Mei 1998, Indonesia diguncang gelombang kekerasan yang disebut-sebut sebagai pelanggaran HAM berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerusuhan ini tidak sekadar bentuk ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi dan pemerintahan. Berdasarkan temuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, kerusuhan ini ditunggangi oleh sentimen anti-Tionghoa yang telah lama berakar dalam masyarakat Indonesia. Etnis Tionghoa dituding menjadi biang krisis moneter karena dianggap menguasai ekonomi, menyelundupkan uang ke luar negeri, serta menimbun sembako.
Tudingan itu memicu kecemburuan sosial dan akhirnya berubah menjadi aksi kekerasan massal. Rumah, toko, dan fasilitas milik warga Tionghoa dijarah dan dibakar. Para pemilik toko bahkan sampai menuliskan "Milik pribumi" di depan tempat usaha mereka agar luput dari sasaran amuk massa.
Wujud Pelanggaran HAM Berat
Bukan sekadar kerusuhan sosial, Mei 1998 menjadi titik nadir bagi nilai-nilai kemanusiaan. Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan sejumlah lembaga relawan, sedikitnya 85 perempuan, sebagian besar dari etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan seksual. Mereka diperkosa secara brutal, bahkan di ruang publik, tanpa perlindungan hukum apa pun. Banyak dari korban mengalami gang rape atau perkosaan massal bergilir oleh sekelompok orang.
Aktivis relawan Ita F. Nadia menyebut, wanita Tionghoa menjadi sasaran utama karena dianggap sebagai kelompok yang lemah dan tidak mampu memberikan perlawanan. Tindakan tersebut bukan hanya bentuk kekerasan seksual, tetapi juga metode penghancuran identitas dan martabat etnis tertentu.
Trauma psikis yang dialami korban amat mendalam. Sebagian memilih bunuh diri, ada yang mengalami gangguan jiwa, diusir oleh keluarga, atau melarikan diri ke luar negeri dengan mengganti identitas. Salah satu korban dan aktivis kemanusiaan, Ita Martadinata Haryono, bahkan tewas dibunuh secara misterius pada Oktober 1998, saat hendak terbang ke Amerika Serikat sebagai saksi internasional dalam forum pembela HAM.
Apa Itu Pelanggaran HAM Berat?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat mencakup dua kategori utama: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan, serta kekerasan seksual secara sistematis atau meluas.
Kerusuhan Mei 1998, berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat karena tindakan kekerasan dilakukan secara terorganisir, meluas, dan menyasar kelompok tertentu, dalam hal ini etnis Tionghoa. Komnas HAM juga menyatakan adanya unsur pembiaran oleh aparat keamanan, serta dugaan keterlibatan unsur militer dalam provokasi.